Review Season Recap

[NON-SPOILER REVIEW] DAREDEVIL SEASON 2: “MARVEL(OUS)!”

Kerja sama Marvel dan Netflix dalam memproduksi serial superhero berhasil menyajikan pengalaman yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Pendekatan yang berbeda dalam menggambarkan karakter komik ke live-action adalah kunci kesuksesan kolaborasi Marvel dan Netflix. Auranya cenderung gelap serta bukan untuk konsumsi anak-anak.

Dimulai dari Daredevil (2015) dan kemudian Jessica Jones (2015), Marvel seakan bebas mengeksplorasi karakter yang tidak mungkin dilakukan di layar bioskop. Dan kini Daredevil Season 2 sudah full ditayangkan oleh Netflix. Kabar baiknya, Daredevil season 2 masih membawa aura positif dari season pertama.

Hampir semua orang setuju jika season 1 adalah pencapaian yang luar biasa bagi sebuah serial televisi. Menurut data Variety, season 1 berhasil mengundang 10.7% subscriber Netflix (sekitar 4.4 juta). Angka tersebut masih belum termasuk penonton di luar AS yang jika ditotal bisa mencapai 6 juta penonton hanya dalam 11 hari sejak penayangannya. Jika dihitung pasca 11 hari, pastinya angka total lebih tinggi lagi. Luar biasa bukan?

karenmatt

Okay, apa sih yang membuat serial Marvel/Netflix sukses di pasaran? Produk superhero dari mereka tidak menekankan pada superhero itu sendiri. Para karakter punya kehidupan real di waktu utama. Mereka menggambarkan keadaan manusia yang sebenarnya; seperti hubungan sosial, pekerjaan, juga konflik yang sering terjadi sehari-hari. Jauh dari hingar bingar penggambaran superhero yang kita kenal selama ini di bioskop. Poinnya, istilah ‘superhero’ dikerdilkan oleh Marvel/Netflix dalam konteks positif.

Season 2 berhasil memenuhi ekspektasi penonton setia Marvel dengan mengusung tema yang lebih luas dari sebelumnya. Komposisi semua aspek yang sama bagusnya—para heroes, villain, action, serta kualitas cerita—semuanya saling mendukung dan membuat Daredevil tampil lebih elegan dibanding musim lalu.

Jika pada season 1 menitikberatkan pada kehidupan awal Matt Murdock menjadi Daredevil, season 2 lebih memfokuskan diri pada pengembangan hubungan antar karakter lama, ditambah karakter baru yang tentunya sudah ditunggu para fans. Yup, The Punisher (Jon Bernthal) dan Elektra (Elodie Yung) datang untuk meramaikan suasana, bukan hanya sebagai karakter sampingan tentunya.

Frank Castle a.ka The Punisher memang pernah punya solo movie (2004) namun potensinya tak dapat dimaksimalkan saat itu. Serial Daredevil berhasil membawa The Punisher menjadi person of interest yang benar-benar hidup di benak penonton. Penampilan Jon Bernthal (alum. The Walking Dead) patut diacungi jempol. Setiap ekspresi serta dialog tentang kemarahan, penderitaan, dan kesedihan yang dialami The Punisher terlihat natural. Potensi Bernthal benar-benar dimaksimalkan di sini.

tower

Pun demikian dengan Elektra yang memberi tone baru dalam setiap kemunculannya. Hubungannya dengan Matt Murdock/Daredevil yang sudah terjalin lama, lambat laun akan dikupas habis agar penonton yang tidak membaca komik Daredevil bisa mengetahui siapa Elektra sebenarnya. Detail seperti ini yang dibutuhkan agar semua penonton memiliki garis start yang sama antara pembaca komik dan non-pembaca komik.

Jangan lupakan penampilan Elodie Yung sebagai Elektra Natchios. Misteri tentang seberapa besar kekuatannya dan kepada siapa ia berpihak menjadi keasyikan tersendiri untuk penonton menebak-nebak bahkan hingga season 2 berakhir. Personally, yang paling saya suka dari Elektra adalah aksen Elodie Yung ketika berbicara, terdengar seksi di telinga saya. Hehe…

elektradare

Development kedua karakter kunci tersebut digambarkan begitu unik sehingga mampu membuat perasaan penonton tercampur aduk. Di satu sisi kita bisa membenci habis-habisan, namun di kesempatan lain kita dibawa untuk bersimpati terhadap motivasi masing-masing.

Sebelum season 2 rilis, banyaknya karakter yang muncul—terutama Elektra dan The Punisher—membawa ketakutan tersendiri bagi saya. Dikuatirkan plot cerita akan bertumpuk dan terlalu padat sehingga membuat penonton terengah-engah dalam mengikuti alur cerita yang hanya 13 episode saja. Namun kredit harus saya berikan untuk tim penulis di belakang layar Daredevil. Satu demi satu plot disajikan dengan transisi yang halus. Contohnya ketika The Punisher diperkenalkan di empat episode awal dengan segala kebrutalannya, lalu kemudian dia diberi “waktu istirahat” agar penonton bisa menikmati penampilan Elektra. Menjelang akhir, semua plot yang dibangun sebelumnya berhasil disatukan dengan epik.

foggy

Memang tidak sempurna, utamanya karena keterbatasan episode (percaya deh, 13 episode serasa kurang), tapi The Punisher dan Elektra tetap bisa kita ketahui background dan motivasi keduanya di Hell’s Kitchen. Narasi dalam flashback dibangun secara perlahan dan terstruktur. Tidak selesai dalam satu episode saja, namun ditunjukkan secara bertahap.

Bagaimana dengan karakter lama?

Penampilan paling keren tentu saja Charlie Cox sebagai Daredevil/Matt Murdock. Memiliki pendirian sebagai “superhero non-lethal,” tentu tidak mudah dalam usahanya melindungi Hell’s Kitchen yang diambang kehancuran. Namun Matt tetap teguh dengan prinsip tersebut dan Charlie Cox dapat memberi penampilan yang meyakinkan sebagai Daredevil maupun Matt Murdock.

Season 2 yang berjalan dalam kecepatan tinggi berhasil dinetralkan oleh Karen Page (Deborah Ann Woll dan Foggy (Elden Hanson). Meski bekerja sama sebagai pengacara, keduanya tetap memiliki misi kecil sendiri-sendiri. Konflik dengan Matt Murdock sudah pasti ada, bahkan lebih besar ketimbang Season 1. Hubungan mereka sebagai rekan kerja dan sahabat diambang perpecahan!

senjata.jpg

Selain Karen Page dan Foggy, beberapa karakter yang kita kenal seperti Claire Temple, atau Sersan Mahoney juga akan muncul meski tidak terlalu krusial. Stick—sang mentor Daredevil yang juga diperlihatkan dalam trailer juga akan berinteraksi dengan Matt Murdock, bahkan punya peran penting di season ini. Dari sisi villain, hmmm… akan ada bintang tamu yang akan mengejutkan para penonton.

Ngomong-ngomong soal villain, pendekatan berbeda dilakukan di season 2. Jika di season 1 kita sudah tahu sejak awal siapa bos besar yang akan dihadapi Daredevil, di Season 2 nyaris tidak tertebak siapa the ultimate villain beserta motivasinya.

daredevilluka

Overall, Daredevil Season 2 tampil nyaris sempurna sebagai serial action. Koreografi fighting scene benar-benar brutal, namun tetap enak dipandang mata. Plotnya yang berlapis dan kompleks tetap bisa diikuti tanpa harus merasa capek sebelum season berakhir. Dengan kualitas sebagus ini, akan menjadi penderitaan besar untuk menunggu season 3 mendatang.

GeNocite…

Plus

+  Porsi action banyak banget

+  Jon Bernthal dan Elodie Yung. Penampilan mereka berdua memukau.

+  Lebih terstruktur dan alurnya enak diikuti ketimbang season 1.

+ Meski nantinya terhubung dengan Marvel Cinematic Universe, tidak dibutuhkan pengetahuan tentang superhero Marvel lain untuk mendapatkan pengalaman yang maksimal dalam menonton Daredevil. Cukup menonton season 1 saja, maka bekal kalian sudah lebih dari cukup.

+ Theme dan background music terdengar eksplosif. Berterima kasihlah kepada komposer musik John Paesano.

Minus

– Ada beberapa koreografi perkelahian yang terlihat miss.

Tinggalkan Balasan