Game of Thrones Review

[REVIEW] GAME OF THRONES Season 6 Episode 7: “The Broken Man”

SPOILER ALERT! Harap menonton episode “The Broken Man” sebelum lanjut membaca ulasan di bawah ini

Tak terasa season enam sudah mencapai episode tujuh. Itu berarti tinggal tiga episode lagi untuk Game of Thrones menemani hari-hari kita. “The Broken Man” memberi waktu untuk para penonton beristirahat dengan plot yang tak banyak menguras emosi jika dibandingkan dengan episode minggu lalu. Bukan sebuah episode yang buruk, tapi terasa lebih “enteng” untuk diikuti—paling tidak hingga empat puluh menit pertama.

Episode kali ini terlihat berbeda secara struktur: episode mid-season yang menunjukkan sebuah scene sebelum anthem wajib dari Ramin Djawadi. Seberapa penting plot tersebut hingga mengalahkan anthem ikonik GOT? By the way, episode ini juga mengingatkan saya pada GOT di season awal yang kental dengan konfigurasi posisi, negosiasi, dan suasana rumah bordil.

The Hound Rises

Sandor Clegane aka the Hound kembali! Wow, tema comeback masih menjadi yang utama di season 6…

Tentu kita masih ingat di season empat ketika Arya memilih meninggalkan the Hound sekarat, padahal ia sudah memohon-mohon untuk dibunuh. Ternyata ia masih bisa selamat, terlebih lagi sekarang kita melihat the Hound sebagai manusia normal dengan pekerjaan yang normal pula. Well, mungkin sekarng dia terlihat sebagai pria biasa, namun di sepanjang episode ini kita masih bisa merasakan sisi kejam dari the Hound. Halo Arya! Siap-siap dengan kejutan ini.

The Hound diselematkan oleh seorang pria tua bernama Brother Ray—pimpinan sebuah suku/kelompok yang sekarang sedang berada di tengah-tengah tanah lapang. Bersama dengan pengikutnya, Ray membangun sebuah sept (sejenis bangunan ibadah). Ray menjadi gambaran seorang pemimpin idaman; berkharisma dan sangat mengayomi orang-orang yang setia kepadanya. The Hound jadi salah satu yang terpaksa mengikuti Ray setelah ditarik dari cengkraman malaikat maut.

brother

Dengan cepat penonton langsung bisa merasakan kejanggalan dalam kelompok tersebut. Betul, target empuk untuk pembantaian. Tidak ada kuda atau senjata. Dalam suasana yang tenang itu, tiba-tiba Brotherhood without Banners datang menghampiri dengan maksud yang tidak baik. The Hound memperingatkan Ray untuk bertempur, namun Ray berprinsip: “Violence is a disease. You don’t cure a disease by spreading it to more people.”

Prinsip yang menggugah hati, tapi salah kalau diterapkan di dunia Game of Thrones. Saya jadi penasaran, sudah berapa lama Septon Ray hidup di Westeros?

Selanjutnya sudah bisa ditebak. Saat the Hound yang sedang menyendiri, ia mendengar teriakan memilukan. Semua orang, termasuk Ray dibantai dengan keji. bak film-film dengan tema balas dendam yang klise, the Hound mengambil kapak dengan raut wajah yang penuh amarah.

Saya dari dulu suka dengan karakter Sandor Clegane, terlebih setelah plot dengan Arya beberapa season silam. Namun ada yang mengganjal ketika comeback-nya diperlihatkan dengan begitu “murah.” Motivasi kelompok Brother Ray juga dipertanyakan. Mengapa mereka begitu penting sehingga diperlihatkan begitu spesial di awal episode? Apa mereka menyimpan pusaka berharga, atau punya ramuan rahasia yang berhasil mengembalikan the Hound seperti sedia kala? Yang saya tahu (dan yang saya harap), GOT tak pernah memperlihatkan sesuatu dengan kebetulan. Semoga saja ada nilai lebih dari diperlihatkannya kelompok Brother Ray yang bernasib sial ini.

Kita jauhi the Hound menuju…

King’s Landing

Seperti yang sudah saya pertanyakan di episode lalu dan ternyata benar adanya; Margaery belum sepenuhnya dipengaruhi oleh High Sparrow. Pilihan yang cerdas! Akting Margaery begitu sempurna dalam mengelabui orang-orang di sekitarnya, bahkan High Sparrow sendiri tidak terlihat curiga dengan plot yang sedang dimainkan oleh sang ratu. Perang taktik yang menarik: High Sparrow berpikiran dia sedang memperalat Margaery, begitu juga dengan Margaery yang sedang mencoba melakukan counter attack.

Puncaknya ketika High Sparrow menyuruh Margaery mengusir sang nenek alias Olenna—the Queen of Thorns. Margaery menuruti kemauan High Sparrow, namun diam-diam dia menyelipkan sebuah kertas ke tangan sang nenek. Saat Tyrell tua membuka, terlihat gambar sebuah mawar—lambang House of Tyrell—dan dengan gambar sederhana itu kita bisa menyimpulkan jika Margaery tidak terjerumus dalam fanatisme. Margaery punya agenda tersendiri. Selain untuk bertahan hidup, adiknya—Loras—yang masih terkurung pasti menjadi prioritas untuk diselamatkan. Siapa yang akan lebih licik? Margaery atau High Sparrow?

Sementara itu ada scene menarik antara Olenna dan Cersei. Cersei berusaha untuk menahan Olenna yang akan meninggalkan King’s Landing untuk melawan High Sparrow. Namun dengan gaya khasnya, Olenna justru mencela Cersei. Ia mengatakan jika semua hal buruk yang terjadi pada Tyrell dan King’s Landing bersumber pada Cersei.

Riverlands

Lagi-lagi reuni. Di tempat ini, bromance antara Jaime Lannister dan Bronn kembali menghiasi layar. Dalam jarak satu minggu (antara episode 6 dengan 7), Jaime, Bronn, beserta bala tentara sudah berada di Riverlands. Penampilan Jaime dengan armor baru, cukup keren kali ini. Pun demikian dengan Bronn yang punya line menarik saat berdialog dengan Jaime. Favorit saya adalah ketika ia memotong kalimat Jaime yang akan menyebutkan motto House of Lannister; “Don’t say it… Don’t f*cking say it…”

Brilian!

Di Riverrun, Jaime tidak sendiri karena ia telah didahului oleh pasukan Frey yang mengepung kastil Blackfish—paman dari Catelyn Stark.  Saat Frey mengancam untuk menggorok leher Edmure (saudara Catelyn), Blackfish tetap kalem. Ia sama sekali tak mau bernegosiasi, bahkan mempersilahkan Frey menghabisi Edmure.

Bagian terbaik di sini adalah ketika Blackfish terlibat konfrontasi langsung secara verbal dengan Jaime. Perang urat syaraf yang mendebarkan berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan Blackfish. Bahkan ia menghina Jaime dengan mengatakan jika ia cukup kecewa dengan kekuatan yang dibawa Jaime untuk menghadapinya.

Well, dengan cepat Blackfish menjadi karakter yang saya sukai. Ketegasannya, kegigihannya dan sifat tak kenal takut menjadi poin penting dari Blackfish. Sebaliknya, Jaime seperti karakter yang hanya gagah di luar tapi lembek di dalam (sorry to say). Setiap kali ia menjalani sebuah quest, kemungkinan besar berakhir dengan tidak menyenangkan bagi dia. Keputusannya sering dipertanyakan.

Berbicara tentang Riverrun, saya sempat mengira jika Jaime dan Brienne akan bertemu. Sayang sekali tidak terjadi dalam episode ini. Somehow belum ada tanda-tanda Brienne sampai di tempat tersebut. Meski demikian, Bronn jadi pengganti yang sempurna untuk plot di Riverrun ini.

Yara dan Theon

Di saat puasa ini memang harus dihindari menonton Game of Thrones di jam-jam tertentu, karena kita tahu sendiri banyak scene “berbahaya” diperlihatkan. Tak terkecuali episode ini yang mempertontonkan suasana sebuah rumah bordil dimana Yara dan Theon berada. Mereka sedang minum-minum dan membicarakan tentang masa depan mereka. Yara membutuhkan Theon untuk melawan Euron. Caranya? Dengan mencuri ide Euron untuk mendatangi Dany terlebih dahulu di Meereen. Menarik untuk menantikan saat Varys dan Theon berkumpul untuk membicarakan “aset” laki-laki yang hilang.

yara

Yara masih mempertahankan sikapnya terhadap Theon. Ia cenderung keras, jarang bersikap baik terhadap Theon, tapi dia tidak kejam. Dia bahkan tahu kapan harus mundur setelah mengolok-olok Theon. By the way, di sini pula kita mengetahui jika Yara lebih memilih wanita ketimbang pria.

The North

Jon, Sansa dan Ser Davos sedang mengusahakan untuk mengumpulkan bantuan sebanyak-banyaknya. Pihak yang didatangi pertama yang berhasil didapatkan adalah para Wildlings. Tanpa lelah Tormund meyakinkan rekan Wildlings yang lain untuk membantu Jon.

Pihak kedua yang menjadi tujuan Jon adalah Lyanna Mormont, keponakan dari Lord Commander Jeor Mormont. Scene antara Jon/Sansa/Davos menghadapi Lyanna Mormont yang masih imut-imut jelas menjadi salah satu scene terbaik di sepisode ini. Untuk gadis yang berumur 10 tahun, kemampuan negosiasinya sudah luar biasa. Keberaniannya juga saya kagumi. Meski tidak langsung mengiyakan permintaan Jon, Lyanna mau membantu dengan mengerahkan… 62 orang. Dia berdalih jika 1 orang miliknya sama dengan 10 pasukan darat biasa.

Merasa kurang cukup, Sansa mengirim surat misterius lengkap dengan stempel House of Stark secara diam-diam. Kepada siapa surat itu tertuju? Littlefinger? Satu-satunya yang terpikirkan oleh saya memang hanya Baelish. Kita tahu jika Sansa pernah mengacuhkan tawaran bantuan dari Baelish beberapa waktu lalu, namun posisi Sansa sekarang tak terlalu menguntungkan untuk melawan Bolton.

BACA JUGA: Inikah Isi Surat yang Ditulis oleh Sansa dalam Episode “The Broken Man?”

Braavos

A girl with no name kini telah tiada dan digantikan oleh Arya. Yup, Arya is back. Ia berjalan dengan penuh percaya diri, kemudian melempar dua kantong penuh koin untuk membayar kapten kapal agar cepat pergi dari Braavos. Sayangnya, nasib Arya berubah ketika ia didatangi oleh seorang wanita tua yang ternyata adalah the Waif. Tusukan demi tusukan dihujamkan ke perut Arya, mengingatkan kejadian yang ada di Red Wedding.

Arya berhasil kabur with style, dengan menceburkan diri ke kanal kemudian bangkit dan berjalan tertatih di sudut kota yang lain. Saya kurang optimis dengan kondisi Arya, namun dia telah membuktikan telah menjadi gadis yang kuat. Kejadian di Braavos ini tetap tak mengesampingkan fakta jika ia begitu mudah dikelabui. Setelah semua kejadian yang menimpa dirinya saya agak mempertanyakan tingkat kewaspadaan Arya yang begitu rendah.

Well, tidak banyak aksi yang terjadi dibanding episode-episode lalu, namun tetap saja menyenangkan melihat episode Game of Thrones. Kembalinya the Hound, tragedi yang menimpa Arya dan tentu saja penampilan Blackfish menjadi tiga scene favorit. Apakah Sansa benar meminta bantuan kepada Baelish? Bagaimana dengan saga yang mulai memanas di Riverlands? Makin tak sabar menunggu episode yang akan datang!

Tinggalkan Balasan