SPOILER ALERT! Harap menonton “The Six Thatchers” sebelum lanjut membaca ulasan di bawah ini
Tak terasa sudah tiga tahun hiatus (kesampingkan Sherlock spesial Natal tahun lalu), akhirnya Sherlock kembali menjumpai fans dalam serial reguler. Pastinya sudah banyak yang tidak sabar menunggu bagaimana kelanjutan cerita sang detektif nyentrik pasca ending menggantung di season 3.
Ada tanggung jawab besar yang dibebankan kepada sang sutradara baru—Rachel Talalay, untuk membuat Sherlock lebih megah, mengingat bisa jadi ini mungkin penampilan terakhir Benedict Cumberbatch dan Martin Freeman sebagai dwi tunggal Sherlock-Watson.
Betul, Benedict dan Martin kini adalah bagian dari kerajaan Marvel. Keduanya punya peran penting di sana yang pastinya akan mempengaruhi kiprah mereka di judul-judul lain. Anyway, terlepas dari benar tidaknya season 4 jadi penutup abadi serial ini, kita nikmati saja yang ada di depan mata.
Pasca Ending Season 3
Saran saya, tonton kembali episode finale season 3 dan The Abominable Bride sebelum menikmati The Six Thatchers sebab di menit-menit pertama akan membawa kita menyaksikan kelanjutan dari ending yang menggantung. Berkat bantuan Mycroft, nama Sherlock dibersihkan dari segala tuduhan kejahatan—termasuk pembunuhan. Penyelesaian secara cepat ini diluar dugaan karena agak melemahkan plot yang superior di musim lalu.
Terlepas dari betapa mudahnya Sherlock keluar dari lubang jarum, dia sangat antusias menunggu pergerakan dari Moriarty. Di sela-sela menunggu, ia menyibukkan diri dengan mengambil kasus-kasus minor. Menyenangkan melihat Sherlock menangani berbagai kasus dalam satu waktu menggunakan smartphone-nya. Ada dua kasus penting yang sebenarnya sangat familiar bagi pecinta novel Sherlock Holmes yaitu The Circus Torso dan The Canary Trainer. Sayang, kali ini kasus-kasus ikonik tersebut hanya “numpang lewat”.
Visual khas Sherlock dengan menampilkan beragam teks di layar masih hadir. Malah kini terasa lebih berjejal karena ditambahkan video, peta, google search, simbol-simbol scientific, dan lain-lain. Mungkin terlalu banyak, namun terasa enerjik. Sang sutradara seakan tak menyia-nyiakan signature dari Sherlock ini untuk bereksperimen dengan atmosfernya.
Peristiwa penting di awal episode adalah kehadiran bayi Rosie alias anak dari Watson dan Mary yang cukup komikal. Interaksi yang dibangun antara Watson-Mary-Sherlock dengan sang dedek bayi memang memikat hati. Sayang terlalu singkat.
Menu Utama Sangat Padat
Setelah kasus-kasus pemanasan, tiba saatnya Inspektur Lestrade menyajikan menu utama berupa peristiwa pembunuhan unik kepada Sherlock. Seorang remaja ditemukan tewas di halaman rumah orang tuanya, padahal semua orang tahu jika remaja itu sedang berada di Tibet. Jelas kasus yang sesuai dengan selera Sherlock.
Awalnya sih meyakinkan. Kasus menarik dan terasa mustahil untuk diselesaikan. Namun dalam waktu lima menit saja Sherlock bisa menyelesaikan kasus di depan orang tua sang korban tanpa menunjukkan sikap simpati (khas Sherlock). Ia justru lebih tertarik pada hilangnya patung Margaret Thatcher yang dimiliki oleh sang empunya rumah.
Dari situ-lah acara ini menggiring kita ke arah yang benar-benar berbeda…
Fokus selanjutnya ada pada kasus yang akan membingungkan penonton dengan melibatkan dirusaknya patung-patung Margaret Tatcher, peristiwa penyanderaan di Tbilisi, grup assassin profesional, penyiksaan sandera, pengkhianatan, konspirasi di antara pemerintahan Inggris, flashdisk A.G.R.A, dan masih banyak lagi. Semuanya bermuara pada satu nama: Mary Watson.
Entah apa spesialnya Mary, sampai sekarang saya masih belum merasa benar-benar peduli dengan karakter ini. Story-arc tentang Mary terasa tawar. Penyelesaian di akhir episode pun jauh dari kata memuaskan, bahkan cenderung klise. At least pertanyaan kita tentang Mary di season lalu terjawab sudah semuanya.
Karakter yang diperankan Amanda Abbington ini memang mengubah arah Sherlock secara keseluruhan sejak kedatangannya pada season 3. Awalnya terlihat remeh, namun level nya langsung meningkat drastis, melompati karkater major seperti Watson sekalipun. Sayang, Steven Moffat sepertinya masih kesulitan untuk memberikan resolusi yang memuaskan jika sudah menyangkut cerita tentang karakter wanita. Masalah yang sama untuk Moffat ketika ia menangani serial Doctor Who.
Performa Top Para Aktor
Dari segi penampilan, seluruh aktor dan aktris masih memberikan performa terbaik mereka. Secara perlahan, mereka dipaksa untuk keluar dari zona nyaman. Amanda Abbington paling terasa bekerja keras karena ia harus bertransformasi dari karakter keibuan menjadi pembunuh profesional.
Benedict mampu membawa Sherlock ke dua alam yang berbeda. Di akhir episode ia terlihat begitu bersalah hingga harus berkonsultasi kepada psikiater. Bayangkan orang sesombong dan se-apatis Sherlock mau terlihat menderita di depan orang lain. Hal itu mengingatkan kita jika ia sangat menghargai persahabatannya dengan Watson.
Martin Freeman patut diberi apresiasi lebih. Ekspresi Watson ketika memeluk Mary menjelang akhir episode itu benar-benar epik! Interaksi terakhir Watson dengan sang istri itulah yang menjadi obat penawar dari lemahnya eksekusi penyelesaian plot tentang Mary.
CONCLUSION
Tone yang berbeda ditunjukkan dalam satu episode. Dua puluh menit pertama terasa sangat menghibur dengan berbagai jokes dan kenyamanan para karakternya. Namun ketika porsi lelucon semakin minim dan plot makin mengerucut, kita tahu bahwa serial Sherlock kini bernuansa lebih gelap dari sebelumnya. Bukan episode terbaik, namun banyak hal yang terjadi. Mungkin terlalu banyak. Namun saya pikir serial seperti Sherlock ini tidak cukup untuk ditonton sekali saja.
Meski eksekusi ending terasa “drama banget”, komponen tersebut sangatlah penting untuk menjadi penunjuk arah serial ini. Kematian Mary seperti akan mengembalikan posisi Sherlock dalam kehidupan Watson. Di sisi lain, Watson justru diselimuti amarah begitu besar kepada Sherlock karena tak bisa melindungi Mary. Kegagalan Sherlock ini mungkin jadi awal dari terguncangnya hubungan Sherlock-Watson dan akan menjadi fokus utama di dua episode berikutnya.
Well, dengan mengusung tema utama tentang “kepasrahan manusia terhadap nasib” memang diilustrasikan secara baik menggunakan dongeng Mesopotamia “The Appointment in Samarra” di sela-sela episode. Cocok sekali dengan apa yang ingin ditunjukkan tim di balik layar Sherlock untuk episode pembuka di season 4 ini.
OVERALL SCORE: 7.5
GeNocite
- Perkelahian tangan kosong Sherlock vs. Ajay seru banget!
- Adegan di Irak dan Maroko memberi warna lain.
- Ada post credit scene!