Review

[REVIEW] THE FLASH Season 2 Episode 22: Invicible

*SPOILER ALERT!* Harap menonton The Flash Season 2 Episode 22 sebelum lanjut membaca .

Menjelang akhir season 2, “Invicible” jelas berusaha keras untuk menyajikan sebuah penultimate episode yang dramatis dengan impact maksimal bagi penonton. Namun sayang, eksekusi yang kurang mantap menjadikan episode kali ini terasa biasa saja. Lagi-lagi keputusan yang salah dari Barry harus dibayar mahal olehnya.

Sudah lebih dari 20 episode tayang, namun saya masih belum ‘klik’ dengan story-arc tentang Zoom. Entah mengapa potensi Zoom sebagai main villain seperti kurang dimaksimalkan. Ditambah, banyak plot tentang Zoom yang berjalan random, sehingga penonton tak bisa mendapat chemistry dengan dirinya.

green

Seperti kali ini, ia memutuskan untuk “melepas” puluhan metahuman untuk menyerang Central City. Cukup mengejutkan dengan metahuman sebanyak itu, daya rusaknya bisa dibilang sangat minimal. “Metapocalypse” yang digaung-gaungkan oleh penduduk Central City serasa kurang mengintimidasi, karena dalam beberapa menit The Flash bisa menanganinya. Sampai di sini saya bingung, apa fungsinya para metahuman tersebut? Bahkan Zoom sendiri bisa melakukan hal yang lebih dari itu. Mengapa ia tak melakukannya sendiri seperti saat dia dengan mudah membunuh banyak polisi dalam sekali gerak?

Oh iya, saya paling ingat ketika salah satu metahuman jusru malah menjambret tas seorang wanita. Seriously? Dengan kekuatan metahuman dan didatangkan jauh-jauh dari Earth-2, kejahatan yang bisa dilakukan “hanya” sekelas menjambret?

Setelah menangani sebagian besar metahuman, Team Flash mendapati Caitlin yang dikembalikan secara cuma-cuma oleh Zoom. Di sepanjang episode kita bisa melihat Caitlin yang mengidap trauma pasca kejadian mengerikan yang dialaminya. Sayang, sedari awal plot penculikan Caitlin ini disajikan dengan gaya telling not showing. Penonton cuma beberapa kali diperlihatkan tentang perbuatan apa yang dilakukan Zoom kepada Caitlin—sepanjang yang saya lihat sih cuma berbincang-bincang, tanpa ada tekanan fisikal. Dampaknya, mau berapa kalipun Caitlin menunjukkan rasa trauma, efeknya kurang maksimal.

caitlin

Masalah terbesar The Flash kali ini datang dari kebangkitan Katie Cassidy sebagai Laurel Lance. Bukan, ini bukan Lance kita kenal selama ini di serial tetangga. Ia adalah doppleganger bernama Black Siren. Cukup menyenangkan melihat Laurel Lance beraksi menghancurkan gedung-gedung di Central City menggunakan pekikan suaranya. Misi Black Siren adalah menciptakan diversion agar Zoom bisa melaksanakan rencana besar yang telah ia siapkan. Rencana itu, sayangnya, masih menjadi misteri hingga akhir episode. Saya pun sudah tidak peduli dengan apa rencana Zoom, karena biasanya berakhir dibawah ekspektasi.

Bicara tentang Caitlin dan Cisco, mereka punya andil besar dalam menghibur penonton di episode ini. Peran mereka sebagai Reverb dan Killer Frost saat berusaha mengelabui Black Siren patut diacungi jempol. Meski dengan dandanan maksimal, mereka tetaplah Cisco dan Caitlin yang tidak punya DNA sebagai villain. Yang mengejutkan, di saat-saat krusial Cisco berhasil mengeluarkan potensi maksimalnya saat menghempaskan Black Siren dengan vibration yang keluar dari tangannya.

reverb

Untuk Barry, episode ini menyuguhkan konflik internal yang tidak ia sadari. Semenjak kembali dari Speed Force, kepercayaan diri Barry meningkat tajam dan dipandang dalam level yang mengkhawatirkan. Orang-orang terdekat Barry berusaha menyadarkannya, namun tidak ada satupun yang mampu menancapkan kaki Barry ke tanah. Bahkan saran dari Henry-pun hanya membuat hubungan ayah/anak itu menjadi tak sehat. Barry, beberapa kali membuat kesalahan besar. Kita sudah melihat dia meremehkan Zoom, dan kini ia melakukannya lagi. Hasil akhirnya masih sama: kekalahan untuk Barry.

Barry harus rela kehilangan Henry untuk selamanya…

Tidak mengejutkan memang, karena kehadiran Henry secara tiba-tiba di tiga episode ini sudah diprediksi tak akan berakhir baik. Semenjak Henry memutuskan untuk ada disamping Barry, kita tahu ia sudah menyiapkan kematiannya sendiri. Dramatis? Sedikit. Mengejutkan? Sama sekali tidak. Namun saya menunggu apa reaksi Barry selanjutnya. Kehilangan sang ibu sudah berdampak besar bagi Barry dan hal itu diperlihatkan dengan baik oleh serial ini. Bagaimana The Flash akan menggambarkan kondisi Barry pasca kehilangan Henry, itu yang patut ditunggu.

henryzoom

Di episode ini masih belum ada tanda-tanda Wally dan Jesse berubah menjadi metahuman setelah terpapar ledakan particle acceleration, namun jelas keduanya punya momen tersendiri. Wally berusaha membantu The Flash melawan metahuman yang berkeliaran bebas di jalanan. Di satu waktu Wally berhasil menyelamatkan The Flash, saat ia menghempas Black Siren dengan mobilnya. Tentu saja Joe tidak senang dengan aksi nekat Wally. Di akhir episode pun akhirnya ia tahu identitas Barry sebagai The Flash saat Zoom menculik Henry.

jesse3

Meski tak ada progress berarti dari Jesse, kita tahu bahwa dia adalah idola baru bagi para penonton laki-laki. Sama dengan Wally, ia belum memiliki kekuatan super dan perannya bisa dilupakan dalam episode ini. Meski begitu, momen terbaiknya adalah ketika ia diperiksa oleh Caitlin dengan hanya berbusana tanktop. Lumayan…

Finally, saya masih merasa episode ini terlalu biasa untuk dijadikan hidangan pembuka sebelum main course alias episode penutup yang akan tayang minggu depan. Semua plot berjalan tanpa ada koneksi yang benar-benar mengena di hati. The Flash menyia-nyiakan plot “metapocalypse” yang sebenarnya bisa digarap jauh lebih baik dan megah dibanding  yang diperlihatkan sekarang.  Puncaknya, kematian Henry pun jadi terasa hambar.

Note: Dengan catatan kalau Henry benar-benar mati…

GeNocite

  • Lagi-lagi referensi tentang Green Lantern diperlihatkan. Iris mendeskripsikan metapocalypse dengan kata-kata “..the blackest  night…” yang mana frase tersebut adalah salah satu bagian dari sumpah Green Lantern, dan salah satu event crossover di DC Comics. Ini bukan pertama kalinya, karena Arrow dan The Flash telah bergantian menyelipkan referensi misterius ini.
  • Sayang sekali kisah Henry dan Tina harus berakhir prematur…

Tinggalkan Balasan