Game of Thrones Review

[REVIEW] GAME OF THRONES Season 8 Episode 3: “The Long Night”

Finally, pertempuran yang digadang-gadang jadi event paling akbar, berdurasi paling lama di jagat seni audio visual tayang juga. Bayangkan, rekor scene pertempuran consecutive terpanjang saat ini dipegang oleh The Lord of the Rings: The Two Towers (40 menit) pecah sudah. Silahkan bandingkan sendiri dengan durasi kalian menonton Battle of Winterfell.

Menurut asisten sutradara, Jonathan Quinlan, proses pengambilan gambar mengambil waktu 11 minggu (55 hari syuting malam hari) yang melibatkan ratusan crew bekerja tanpa lelah. Hasilnya? Well, spektakuler! Tapi seperti meninggalkan sesuatu yang mengganjal di kepala. Tersirat gumaman “Yah, gini aja nih ending-nya?

Saya sempat menyebut The Lord of the Rings? Film tersebut—terutama pertempuran Helm’s Deep menjadi inspirasi utama kala sang sutradara menggarap episode ini. Terang-terangan ngaku. Dan jangan salahkan saya kalau ada beberapa referensi Lord of the Rings dalam review kali ini. Hahaha…

The Long Night…Gelap gulita!

Sebelum masuk ke pembahasan, ada yang protes kalau sepanjang episode gelap banget nggak sih?  Saking gelapnya, sampai muncul berbagai meme kocak seperti berikut:

gelap banget-min

Ternyata ada alasan dibalik suramnya tampilan episode ketiga ini. Banyak kegelapan yang disengaja. Dilansir dari Vanity Vair, Fabian Wagner (director of photography) mengaku ia mostly mengandalkan pencahayaan alami—termasuk lilin dan nyala api—untuk menjaga tone kegelapan yang natural. Harapannya, penonton bisa lebih immerse untuk merasakan suasana pertempuran yang sesungguhnya. Kekacauan, siapa saja yang mati, berapa banyak musuh tersisa, semua menjadi misterius kala kegelapan melanda. Bukankah itu inti dari sebuah peperangan?

Satu-satunya solusi cepat dan murah, set brightness TV ke level paling tinggi walaupun harus dibayar dengan munculnya artifact, pixelated picture, dan garis-garis saat adegan yang didominasi warna hitam.

Battle of Winterfell
Setelah episode pertama berbicara mengenai reuni dan episode kedua berfokus pada hubungan para karakter (Hey Arya dan Gendry!), akhirnya episode ketiga memperlihatkan scene action yang paling ditunggu. Satu hal bisa dipastikan, momen senang-senang sudah selesai.

Momen awal paling menggugah adalah ketika The Red Woman wanita alias Lady Melisandre merapal mantera dan menyulut api pada senjata kaum Dothraki.Epik! Peran Melisandre persis seperti Gandalf di film LoTR: datang memunculkan harapan, berpatroli kesana kemari dengan tenang, punya kekuatan magis untuk membantu para good guys.

Lalu, apa kabar Volantis ya? Apa yang dilakukan Melisandre selama ini disana?

Begitu pertempuran Winterfell ini dimulai, adegan mengerikan pun muncul ketika Dothraki menyerbu maju. Dari kejauhan terlihat satu per satu api padam, menandakan gugurnya kaum Dothraki. Ini bener-bener deh, scene yang bikin bergidik. Ngeri aja melihat ekspresi pasukan lain kebingungan melihat pemandangan yang ada di depan. Musuh tidak terlihat sama sekali.

Yang saya pertanyakan, strategi macam apa yang menyuruh Dothraki menyerbu maju tanpa tahu bentuk musuh seperti apa.

Well, aksi kemudian terpecah-pecah dan kacau, tidak terlihat lagi mana pusat penceritaan. Wajar, The Long Night harus menyeimbangkan point of view. Kalau berbicara perang kali ini tidak terstruktur, memang benar. Berbeda dengan Hardhome atau Battle of the Bastards yang hanya terpusat pada Jon Snow, pertempuran kali ini perlu meng-cover banyak karakter sekaligus.

lyanna-min
Gambar: Game of Thrones/HBO

Artikulasi visual yang gelap memang sukses untuk memberi rasa mencekam bagi penonton. Adegan perang nggak pernah se-artistik ini. Kita bagaikan ikut dalam aksi yang kacau balau, menunggu siapa karakter yang tidak selamat. Namun, karena isu-isu teknikal, Battle of Winterfell terasa tidak seimpresif hype yang sudah tercipta sejak lama.

Betul, utamanya karena permasalahan siapa yang selamat dan siapa yang tidak. Banyak pihak sudah siap-siap mengalami kehilangan teramat sangat akibat perang ini. Namun sayang, pada akhirnya Game of Thrones terkesan mencari aman. Bahkan mungkin sudah banyak diprediksikan siapa good guys yang tidak selamat.

Eddison Tollet: dari awal kemunculannya di episode perdana season 8 seperti sudah ditakdirkan untuk mati. Matinya untuk melindungi Sam pula. Di titik ini, secara logika, Sam tidak akan selamat. Dia titik terlemah di medan pertempuran. Tapi ngapain ngomong masalah logika kalau udah nonton GoT?

Lyanna Mormont: salah satu fan favourite harus mengalami nasib naas. Tewas dalam perjuangan luar biasa gigih. Kalau boleh memilih most valuable player, dia kandidat utama. Sebelum tubuh mungilnya diremukkan, ia berhasil menghunuskan pedang ke mata zombie raksasa. Akhir yang heroik buat karakter sekecil Lyanna.

Jorah Mormont: Kematian Jorah saat melindungi Dany, sungguh mulia. Benar-benar akhir yang pantas buat Jorah yang selama bertahun-tahun terjebak di friend-zone. Memang motivasi karakter in sudah menipis. Yang ada di kepalanya hanya Dany.

Theon Greyjoy: Sama seperti Jorah, Theon akhirnya menebus dosa atas kelakuannya. Theon dan Bran bertukar momen paling tulus, heartwarming, dimana Theon mengakui segala tindakan buruknya. Tapi Bran meyakinkan Theon untuk tidak perlu kuatir. Takdir final Theon adalah untuk… memperlambat gerak Night King beberapa detik. Terlepas dari kematian yang teramat predictable, proses perjalanan karakter Theon cukup hebat; dari seorang pecundang, kemudian jadi kacung, hingga akhirnya memulihkan namanya sebagai hero sejati.

Beric Dondarrion: Dihidupkan berkali-kali oleh Lord of Light, akhirnya takdir Beric adalah untuk menyelamatkan Arya. Terima kasih Beric, yang sudah memberi “cahaya” (literally) sepanjang episode ini berjalan.

Melisandre: Selama ini ditakdirkan untuk membantu kaum manusia melawan kaum kematian. Ia sudah selesai melayani Lord of Light.

Dragon War—Pertempuran melawan Night King
Dua dragon rider kita, Jon dan Dany, membantu pertempuran dari langit. Naga emang praktis untuk masak zombie panggang, tapi nggak cukup hebat karena pasukan zombie terlampau padat. Sampai akhirnya adegan kejar-kejaran di atas awan dengan Night King. Bisa dibilang salah satu highlight episode ini adalah dogfight ala film Top Gun, bedanya sekarang ini yang bermanuver adalah para naga-naga nan kekar. Visualisasinya keren banget! Perang api merah dan biru menghiasi langit Winterfell.

night king-min
Gambar: Game of Thrones/HBO

Rencana untuk membakar Night King hidup-hidup (err….) gagal total. Night King yang layak mendapat gelar sosok paling menarik dan karismatik, cuma tersenyum tipis setelah disembur ‘Dracarys’ oleh Dany. So cool!

Scene yang bikin frustrasi adalah ketika Jon mencoba mengejar Night King. Awalnya cukup menegangkan, tapi Jon kalah cepat, Night King keburu membangkitkan mayat-mayat disekitarnya untuk menghalangi Jon. Cukup mengecewakan Jon vs Night King tidak terjadi, mengingat Jon-lah yang aware dengan ancaman Night King dan kroco-kroconya sejak awal. Jon layak punya pertarungan yang seimbang dengan Night King.

Yang bikin gemes lagi, bisa-bisanya Jon selamat di tengah kepungan para zombie. Tak hanya Jon, beberapa major character diperlihatkan di posisi serupa, seperti Jaime, Tormund, dan Brienne, namun somehow tetap selamat.

The Crypt
Kekuatan magis Night King membangkitkan zombie ternyata berdampak pula pada mayat-mayat yang ada di the crypt—bunker perlindungan buat kaum lemah Winterfell. Hal ini sudah diprediksi oleh para fans juga. The crypt menjelma menjadi tempat paling tidak aman di seantero Winterfell. Apakah Tyrion tidak melihat potensi ini sebelumnya?

Meskipun scene di the crypt agak useless karena nggak ada kejadian major, momen lembut antara Tyrion dan Sansa cukup membuat jantung berdebar. Untuk sejenak menyiratkan kalau keduanya (atau salah satu) bakal tamat riwayatnya. Untungnya, tidak.

Arya… The Prince(cess) That Was Promised
Selain Lyanna Mormont, Arya adalah bintang terang di episode ini. Cara ia memperkenalkan dragonglass kepada Sansa “stick them with the pointy end” adalah callback yang manis. Kalimat tersebut pernah diucapkan Jon kepada Arya awal season satu.

Meski jalannya berliku (scene di perpustakaan itu horor banget! Keren abis!), takdir Arya mulai terbaca ketika Melisandre mengindikasikan kalau Arya akan membunuh banyak orang, “brown eyes, green eyes—blue eyes.”

Nah, begitu blue eyes disebut, sudah tentu kita tahu siapa yang dimaksud. Ini twist yang menarik. Di saat orang berharap (termasuk saya) Jon yang akan memberangus Night King, justru Arya-lah pahlawan sebenarnya. Nggak usah ditanya gimana cara Arya menyelinap sampai akhirnya bisa menghunuskan catspaw ke tubuh Night King. Ajaib emang.

Another callback! Dejavu dengan cara Arya membunuh Night King? Iya, kita pernah kok melihat teknik yang sama persis ketika Arya sparring melawan Brienne di season 7 episode 4. Signature move Arya nih…

arya-min
Gambar: Game of Thrones/HBO

Sentuhan epik lain adalah penggunaan dagger catspaw. Di tempat yang sama, Bran memberi Arya dagger tersebut. Dan di tempat itu pula Bran diselamatkan Arya. Sebuah kebetulan atau memang ada campur tangan secara sengaja oleh Bran dari jauh-jauh hari?

Momen Arya ini memang diperlukan. Selain memberi efek kejutan, kisah Arya hingga ke titik ini memang paling memilukan. Ia tidak bisa menyelamatkan ayahnya. Gagal pula menyelamatkan kakak dan ibunya dari “Red Wedding”. At least dia sekarang bisa melindungi Bran. Semua ada hubungannya dengan dagger catspaw (aslinya senjata ini juga yang mengawali perpecahan di Game of Thrones) sekaligus jadi titik kulminasi penderitaan serta peristiwa traumatik Arya.

CONCLUSION
Meskipun banyak kritik yang bisa dilempar mengenai eksekusi dan jalan cerita The Long Night, dari segi teknikal dan skalabilitas, aksi pertempuran kali ini emang teramat epik. Penggunaan tone gelap (meski terlalu gelap) justru memunculkan kesan horor nan kental.

Habisnya pasukan Night King beserta white walker bisa dibilang… terlalu mudah? Antiklimaks. Pasti di titik ini ada yang setuju dan tidak. Meskipun agak lega beberapa karakter masih selamat, namun GOT terkesan memberi jalan terlampau manis bagi kubu good guys dalam mengakhiri perang melawan Night King.

Dari day one, Game of Thrones memang “adu cerdas” antar manusia. The dead, nggak pernah punya tempat utama. Makanya, dari awal pun White Walker dilihat sebagai alegori untuk perubahan iklim bumi dan bagaimana manusia bekerja sama “melawannya”.

But still, INI EPISODE SUPER KEREN!

OVERALL SCORE: 9.5

GeNocite

  • Saya agak bingung waktu Bran Ngapain dan kemana? Lagaknya kayak mau bantu-bantu perang, tapi kok cuma terbang doang. Nggak mungkin dong ya. Mungkin bakal dijelaskan di episode depan.
  • Berapa dragon yang mati?
  • Jaime dan Brienne… ah, serasi banget ini. Momen ketika mereka dalam satu scene bertarung bersama itu keren.
  • Sang produser, D.B. Weiss menyebut kematian heroik Lyanna Mormont diperlukan karena Lyanna telah membuat impresi luar biasa besar di benak para fans. Aslinya Lyanna itu keluar satu scene doang di Game of Thrones. Pertemuan Weiss dengan Bella Ramsey (pemeran Lyanna) mengubah segalanya.

One thought on “[REVIEW] GAME OF THRONES Season 8 Episode 3: “The Long Night”

  1. cukup seru seri ke 8 ini di episode ke 3, cuma yang sangat saya sayangkan itu senjata dragon glass yang sudah jauh-jauh dibawa dari dragonstone dan dibuatkan senjata kok tidak ada manfaatnya sama sekali, para zombie tidak langsung pecah berkeping2 ketika ditusuk pakai senjata ini, apa cuma Arya yang tusuk baru pecah? itupun bukan dengan dragonglass tapi besi Valyrian yang buat Night King hancur lebur. lalu berikutnya Jon sudah tahu bahwa satu-satunya cara melenyapkan zombie ini adalah membunuh rajanya yaitu Night King, dan ternyata ketika Arya menikam raja ini dan pecah berkeping-keping langsung seluruh pasukan bahkan naga biru juga rubuh semuanya, persis cerita Mummy dari Brandon Frazeer yang dia lawan dipadang pasir adalah para mayat hidup atau tengkorak. Cara mati yang sama, kepalanya dalam hal ini King Scorpion, Seru sih episode ke 3 ini.

Tinggalkan Balasan